Ketika Muslimah Menjadi Pengusaha

Ketika Muslimah Menjadi Pengusaha

Berbicara masalah wanita sebagai pengusaha seringkali kita dihadapkan pada pertanyaan “Sebatas apa kepatutan dan sepenting apakah perempuan berkarir?” Perempuan pertama yang berperan dalam menguatkan dakwah dan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Khadijah. Sebagaimana kita tahu ketika Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha berusaha menenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kegelisahannya, “Demi Allah, Tuhan tidak akan mengecewakan engkau sama sekali. Sesungguhnya engkau bersilaturrahim, menghubungi keluarga dan mengangkat beban berat, memberi kepada orang yang tidak punya, menerima dan memberi (menghormati) kepada tamu, serta menolong orang-orang yang menderita.”
Khadijah dalam masyarakat saat itu tidak dikenal sebagai agamawan, melainkan dikenal sebagai pengusaha besar dan istri Muhammad. Ibu-ibu rumah tangga sebenarnya perempuan-perempuan yang tangguh dan punya potensi berkarir dan berusaha menambah penghasilan keluarga bahkan bisa mandiri. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perempuan yang tidak bisa dilakukan oleh kebanyakan laki-laki.
Berbicara masalah kepatutan seorang perempuan berkarir masih menyisakan perbedaan pendapat berkepanjangan, pro dan kontra. Satu sisi demikian banyaknya keterangan tentang peran penting perempuan di rumah untuk anak-anaknya dan menjaga harta serta kehormatan keluarga. Di satu sisi kita sering dihadapkan akan suatu kenyataan tentang beratnya dan tingginya kebutuhan hidup, sehingga memerlukan kontribusi tambahan dari para perempuan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga.
Menurut saya, sudah selayaknya para perempuan sendiri yang harus memilih dan memilah “Apakah harus berkarir membantu keuangan keluarga ataukah menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan keluarga?” Kita meyakini bahwa katangguhan masyarakat dan peradaban dunia ini semua berawal dari basis keluarga.
Para muslimah harus berusaha berilmu sebelum beramal, mempelajari hak dan kewajibannya sebagai mu’minah. Baik hak dan kewajiban bagi dirinya secara pribadi, maupun bagi suaminya, anak-anaknya, keluarganya, lingkungannya dan seterusnya. Sehingga dengan bekalan tersebut seorang perempuan bisa memilih dan memilah pekerjaan yang aman syar’i dan manusiawi (ramah perempuan).
Karena tanpa bekalan tersebut, bisa jadi kita hanya mempertimbangkan secara akal dan kemanusiaan semata kemudian menerjang rambu-rambu agama. Padahal banyak sesuatu yang dianggap biasa oleh masyarakat sebenarnya adalah sesuatu yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah. Sebuah contoh, membuka rambut bagi wanita di luar rumah di sebagian daerah adalah sesuatu yang sangat wajar, padahal haram menurut Allah. Dan dalam firmanNya, Allah telah melarang untuk mengikuti kebanyakan manusia, “Jika engkau mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am : 116)
Sebagian masyarakat juga merasa tidak ada masalah apabila ber-ikhtilat (bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan). Sementara banyak pekerjaan yang menjadikan seorang muslimah sulit menghindar dari campur baur dengan lawan jenis.
Di saat yang lain ada seorang perempuan yang bekerja tanpa restu dari suaminya, karena merasa mempunyai hak untuk mengekspresikan potensi diri. Dalam Islam, masalah keridhoan suami, tidak campur baur, senantiasa menutup aurat, dan tidak berbahaya bagi perempuan adalah masalah penting yang harus menjadi pertimbangan. Sama pentingnya dengan permasalahan halal dan haram. Tidak mengapa menjadi perempuan pengusaha yang bekerja dalam bingkai aman syar’i dan ramah perempuan, selama kita ingat untuk tidak memburu kenikmatan dunia yang menjadikan kita jauh dari peluang kenikmatan akhirat. Wallahua’lam

Sumber: Majalah Madani edisi 59 hal 4.


share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Unknown, Published at 18.32 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar